Ini termasuk yang ketiga kalinya kegiatan bedah buku yang diselenggarakan di Perpustakan ICC Jakarta. Sesuai dengan momen ‘Asyura, kali ini, buku yang di bedah adalah Pusparagam Asyura Karya Sayid Ibrahim Husaini, Et, al. Kegiatan bedah buku ini berlangsung selama satu jam (16:00–17:00 WIB). Pada jum’at sore itu (21 Juli 2023), di Perpustakan ICC Jakarta, kegiatan bedah buku dimulai dengan ucapan basmalah dan shalawat kepada Nabi saw. dan keluarga sucinya (Ahlul-Bayt) yang dipimpim oleh Mc, saudari Siti Aisya mahasiswi STAI Sadra yang tengah mengadakan kegitan PPM di ICC. Tepat setelah itu, kegiatan pun bergeser pada acara inti, yaitu “Bedah Buku Pusparagam Asyura” yang bertema: “Asyura: Doktrin dan Historis, Fragmen Pertarungan Otoritas Ilahiyah dan Ambisi Bendawi”.
Kegitan bedah buku tersebut dimoderatori oleh Dr. Syafinuddin Almandary, M.Si. selaku Kepala Riset ICC Jakarta dan pembedah Dr. Muhsin Labib, M.A, Direktur Moderate Institute. Setelah dipersilakan oleh moderator, Dr. Muhsin Labib pun mulai mengambil alih forum kegitan bedah buku saat itu. Abstrak yang diberikan oleh moderator benar-benar mewakili atau paling tidak secara umum menyentuh pada isi buku Pusparagam Asyura, terang Dr. Muhsin Labib atas muqaddimah yang diantar oleh moderator, Dr. Syafinuddin Almandary, M.Si..
Setelah menegaskan bahwa metode penulisan buku Pusparagam Asyura bersifat dialogis karena berupa pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban, Dr. Muhsin Labib pun mulai menyoroti dua tema utama yang, menurutnya, menarik untuk ditelaah dan digali lebih jauh. Dua tema itu ialah: “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” dan “Filosofi Menangis”.
Tentang tema “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” mengapa menarik untuk di kaji karena ia (Amar Ma’ruf Nahi Munkar) termasuk dimensi doktrin yang memiliki prinsip-prinsip seakan-akan “bertentangan” dengan gerakan Imam Husein a.s., terang Dr. Muhsin Labib. Kita tahu—lanjutnya—bahwa dakwah adalah salah satu turunan dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar, karenannya realisasi dakwah berikut juga orientasinya harus berdiri di atas dan berpijak pada asas-asas dan prinsip-prinisip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Berdasarkan tesis ini, maka tidak diragukan lagi bahwa “dakwah Imam Husein” terjadi semacam “kontradiksi” antara aspek doktrin dan hitorisnya. Mengapa? Karena aspek historis “dakwah Imam Husein” penuh dengan kekerasan, pembantaian, darah, tangisan dan air mata. Historisitas karbala semacam tidak mengindahkan prinsip-prinsip Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Lantas, bagaimana kita memberikan tanggap rasional terhadap “kontradiksi” ini. Jika ingin tahu—terang Dr. Muhsin Labib—dapat dibaca lebih jauh dalam buku Puspragam Asyura.
Sedangkan tentang filosofi menangis, setelah membedakan antara menangis dan sedih sebagai dua aktifitas yang berbeda. Yakni, bisa jadi menangis itu disebabkan oleh aspek eksternal (proses kimiawi murni) atau proses kimiawi yang didorong oleh keadaan batin tertentu. Sehingga—menurut Dr. Muhsin Labib—relasi menangis dan sedih dari sudut pandang logis masuk kedalam relasi yang beririsan. Karena tidak setiap kesedihan itu melazimkan menangis begitu juga sebaliknya.
Akhirnya, tanpa memfokuskan pada buku, Dr. Muhsin Labib menegaskan bahwa menangis bukanlah tanda kelemahan dalam pengertian yang mainstream. Dalam konteks menangisi Al-Husein a.s., arti kelemahan ialah karena kita merelasikan keadaan diri kita dengan peristiwa karbala yang penuh dengan kezaliman terhadap Imam Husein a.s. beserta keluarganya yang mulia. Sehingga, di sana, tangisan bisa berarti marah; bisa berarti menyesal karena tidak berada pada waktu pembantaian Imam Husein dan keluarganya, dan juga bisa berarti sedih. Karenanya menangisi Al-Husein tidak identik dan ekslusif dengan sedih. Untuk itu, tradisi menghidupkan malam-malam Asyura mestinya diorientasikan untuk membangikat kemarahan, penyesalan, dan lainya terhadap kezaliman yang menimpa Imam Husein di samping kesedihan. Yakni, di samping sedih kita juga harus menghidukan elemen-elemen batin lainnya. Agar kita tidak terperangkap di dalam kesedihan yang berkepanjangan, tetapi juga dapat bangkit melawan kezaliman. Tentunya dikontekstualisasikan dengan zaman dan konsisi di mana kita berada dengan prinsip dan falsafah “Kullu Yaumin ‘Asyura–Kullu ‘Ardhin Karbala”.
Kegiatan bedah buku tersebut di samping karena berada dalam keadaan yang memang ilmiah, yakni di dalam Perpustakaan ICC Jakarta, tetapi juga karena pemaparan Dr. Muhsin Labib yang diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan para peserta dengan botot dan muatan yang—menurut Dr. Muhsin Labib—sangat ilmiah, tidak sebagaimana kegiatan-kegitan bedah buku biasanya. Pertanyaan-pertanyaan yang disoroti kepada Dr. Muhsin mulai dari menyoalkan aspek ‘irfani dan kontras historis (problem ontentisitas peristiwa karbala) dan diakhiri dengan pertanyaan tentang Asyura sebagai wadah tarnsfomasi jiwa dan relasinya dengan filsafat Mulla Sadra. Kegiatan bedah buku itu pun berakhir dengan jawaban-jawaban yang memuaskan dari Dr. Muhsin Labib. Sehingga akhirnya dengan bimbingan Mc, saudari Siti Aisya, kegitaan bedah buku pun ditutup dengan bacaan hamdalah dan shalawat atas Nabi saw. beserta keluarga sucinya, juga informasi tentang pembelian buku Pusparagam Asyura dengan bonus tiga buku lainya.
Untuk jawaban atas wacana-wacana yang di angkat dalam kegiatan bedah buku itu dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Pusparagam Asyura. Di samping narasi tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Filosofi Menangis, pemabaca juga dapat menemukan narasi-narasi lain yang tak kalah menariknya, terutama bagaimana membantu kita di dalam menerjemahkan Asyura dengan kompleksitas hikmah dan nilainya ke dalam kehidupan kita yang tidak saja terbatas pada malam-malam Asyura. (Zaim)